Siapapun Anda, apapun baju kebanggaan Anda, serumit apa pun masalah
Anda, seberapa besar pun badai kebencian atau kecintaan Anda, marilah
sejenak bersama saya menundukkan hati, menenangkan pikiran, kita
dengarkan sapaan dari langit, dari Allah swt. Zat Yang Maha Menggenggam
Hati manusia, merubah yang benci jadi cinta dan yang cinta jadi benci.
Allah berfirman:
عَسَى اللَّهُ أَنْ
يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً
وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Mudah-mudahan
Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu
musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Mumtahanah: 7)
Saudaraku yang dirahmati Allah…
Setelah
membaca ayat di atas, kira-kira apa kesan yang Anda dapat? Bagaimana
perasaan Anda terhadap orang yang selama ini membenci dan memusuhi Anda?
Bagaimana perasaan Anda terhadap orang atau sesuatu yang selama ini
Anda benci dan Anda musuhi? Bagaimana pula perasaan Anda terhadap orang
yang selama ini mencintai dan begitu dalam mencurahkan perhatiannya
kepada Anda? Bagaimana perasaan Anda terhadap orang atau sesuatu yang
selama ini Anda cintai dan Anda sayangi?
Silahkan Anda benci,
siapapun yang Anda tidak suka atau apapun yang Anda tidak suka? Silahkan
Anda cintai, siapapun yang Anda suka atau apapun yang Anda suka?
Namun,
sadarkah Anda bahwa benci dan cinta itu muncul karena ledakan emosional
sesaat ketika perasaan seseorang tersentuh. Ia berawal karena ada
energy pendorong yang mem-push kita untuk membenci dan mencintai
itu datang secara beruntun. Dan secara reflex, kita akhirnya membenci
atau mencintai sesuatu/seseorang. Jika ia dibiarkan terakumulasi dalam
beberapa tenggang waktu dan faktanya energy itu terus-menerus mem-push kita, maka kuota kebencian atau kecintaan akan semakin bertambah. Yang cinta jadi benci, dan yang benci jadi cinta.
Kebencian
itu ibarat badai topan. Ia akan mengerahkan segala kekuatan yang
dimilikinya. Lahir dan batinnya. Ia akan datangi semua gedung, bahkan
gedung pencakar langit pun ia akan hampiri. Ia akan hantam gedung yang
kokoh tegak berdiri itu dengan bertubi-tubi. Tanpa ampun. Seakan tanpa
mengenal lelah. Tanpa jeda waktu. Tanpa mengenal usia, seakan hidup
selamanya. Bahkan tanpa mengenal kehidupan dan kematian. Perhitungan dan
pertanggungjawaban.
Maka, bisa jadi, sedikit demi sedikit salah
satu dari atapnya copot, tiangnya mulai retak, kaca di jendelanya
pecah-pecah dan akhirnya angin topan pun mendesak memasuki area dalam
gedung megah itu, hingga bisa memporak-porandakan semua yang ada di
dalam. Dan mungkin, seiring berjalannya waktu, gedung itu juga akan
runtuh. Karena diterpa badai kebencian.
Kecintaan juga demikian.
Badai cinta juga akan memobilisasi semua potensinya. Badai cinta itu
juga hakikatnya terdiri dari beberapa formula pendorong yang
terakumulasi hingga menjadi cinta yang utuh dan matang serta tidak
tergantikan. Pertama cinta karena al-istihsan (anggapan baik). Kedua cinta karena takjub (at-ta’ajjubu). Cinta karena ingin selalu dekat dan ada di sisinya atau rindu yang menggebu (hayyamahul hubbu). Dan cinta karena kasmaran (al-‘usyqu).
Pikiran seseorang pada level ini akan selalu dipenuhi oleh cinta, hati
dan pikirannya. Tidak ada ruang dalam hati dan pikirannya untuk
membenci, sekalipun orang lain sebenarnya sudah menampakkan
indikasi-indikasi kebencian mereka.
Celakanya, manusia banyak
terjebak untuk tidak melibatkan akal pikirannya, untuk berpikir secara
jernih, untuk mengkalkulasikan dengan detail, kerugian apa jika ia
membenci atau mencintai sesuatu atau seseorang? Keuntungan apa jika ia
membenci atau mencintai dan menyayangi sesuatu atau seseorang? Lalu,
apakah keuntungan dan kerugian itu akan berkepanjang hingga hari di saat
kita bertemu dengan Allah (mumtaddah ila yaumil qiyaamah) ?
Atau
mengajak akal pikirannya merenung sejenak, menanyakan sebenarnya energi
apa yang mendorongnya untuk begitu membenci atau mencintai sesuatu atau
seseorang?
Saudaraku yang dirahmati Allah…
Kita
hidup di era interplaniter, disaat cinta dan benci menjadi semu. Cinta
dan benci sering terbeli oleh materi. Terkapitalisasi dalam bentuk
jabatan publik dan kekuasaan. Tersandera dan terpenjara dalam satu
komunitas tertentu. Bukan cinta dan benci dengan standar universal.
Inilah
yang menjadikan saya tertarik untuk kembali membuka lembaran-lembaran
buku karya DR. Khalid Jamal yang bertajuk AJARI AKU CINTA. Beliau
mengajak kita untuk membayangkan jika seandainya cinta itu makhluk hidup
seperti manusia, maka saat ini ia pasti akan berteriak lantang di
hadapan kita, karena CINTA itu sekarang sedang mengalami penderitaan.
Beliau
menggambarkan dalam bukunya tersebut, “Penderitaan Cinta itu sekarang
terjadi saat melihat manusia melakukan tindakan-tindakan bodoh
mengatasnamakan aku (cinta). Mereka merampas kehormatan orang lain atas
namaku. Jika semut itu berteriak, mengingatkan seluruh bangsanya atas
bahaya yang akan menimpa mereka ketika lewat satuan inspeksi tentara
Sulaiman dengan berkata: “Berkatalah seekor semut: “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (An-Naml:
18). Maka, aku (cinta) juga berteriak atas nasibku dan nasib semua
orang yang mengatasnamakan cinta untuk berbuat ‘kerusakan’ di atas bumi
ini.”
Jadi, sebenarnya dalam lembaran kebencian itu, ada
‘lembaran-lembaran cinta’ yang sengaja ditutupi-tutupi atau tersembunyi.
Begitu juga dalam lembaran cinta, ada ‘lembaran-lembaran kebencian’
yang juga sengaja ditutup-tutupi atau tersembunyi.
Hanya saja yang
jadi pertanyaan, “Siapa yang menyuruhnya menutupi lembaran cinta itu,
disaat kebencian meledak? Siapa sebenarnya yang menyuruh menutupi
lembaran kebencian itu, disaat cinta meledak?”
Jika yang
menunjukkannya adalah Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Kasih Sayang, maka
ia berada dalam jalan kebenaran. Begitu juga jika yang mengajarkan
menutupi cinta dan benci itu Rasul-Nya, maka ia dalam keselamatan.
Sehingga manusia akan membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, dan
mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Membenci orang-orang
yang dibenci Allah dan Rasul-Nya dan mencintai orang-orang yang dicintai
oleh Allah dan Rasul-Nya. Inilah barometer yang tepat sasaran dan tepat
guna.
Kalau manusia sadar dengan hakikat ini, maka potensi
berubahnya kebencian menjadi cinta, atau cinta menjadi kebencian,
bukanlah suatu yang mustahil. Dan itulah yang diisyaratkan dalam surat
Al-Mumtahanah di atas. “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih
sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka.
Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al-Mumtahanah: 7)
Masih segarkah dalam
ingatan Anda, berapa banyak dari pembesar kota Mekkah yang membenci nabi
agung kita Muhammad saw? Apakah dulu Umar bin Khattab tidak membenci
Rasulullah? Bagaimana dengan Khalid bin Walid, Hamzah, Suroqoh? Abu
Sufyan?
Bahkan, satu kota Thaif yang dulu begitu membenci
Rasulullah, menolak dakwah Rasulullah, mencerna dan menghina Rasulullah,
melukai Rasullah dengan lemparan batu hingga tubuh Rasulullah
berlumuran darah, mengusir Rasulullah dari kota mereka, akhirnya semua
penduduk Thaif masuk Islam dan bahkan keislaman mereka jauh lebih kuat
dari umumnya para penduduk Mekkah yang sudah masuk Islam. Hal itu
dibuktikan ketika hembusan fitnah kekufuran mewabah di setiap kota
Mekkah dan Madinah sepeninggal Nabi Muhammad saw., namun di kota Thaif
tidak ditemukan satupun orang yang murtad.
Subhaanallah….
Mereka
yang dulu membawa bendera kebencian terhadap Rasulullah dan dakwahnya,
akhirnya menjadi sosok-sosok yang mengalirkan cinta mereka dengan deras
kepada Rasulullah dan dakwahnya hingga akhir hayat mereka.
Tidakkah
Anda membayangkan bahwa bisa jadi orang yang Anda benci, nanti akan
bertemu dengan kita di surga, ketika ia kembali pada jalan kebenaran.
Begitu juga, tidakkah Anda membayangkan bahwa bisa jadi orang yang kita
cintai, akan kita temukan di neraka, ketika jauh dari hidayah Allah dan
Rasul-Nya?
Maka sapalah mereka yang membenci Anda dengan sapaan
cinta. Tataplah mereka yang membenci Anda dengan tatapan cinta. Taburkan
doa-doa hidayah atas jiwa-jiwa yang dipenuhi dengan kebencian. Lidah
boleh bicara, tangan boleh bergerak, kaki boleh melangkah, otak boleh
berpikir, namun yang menggenggam hati hanyalah Allah. Janganlah ada
kebencian yang membabi buta, sehingga kita menganggap hanya ‘dia’
seseorang (hingga akhir hayat kita) yang harus masuk ‘jahannam’. Atau
jangan ada kecintaan yang membabi buta, sehingga kita menganggap hanya
‘dia’ seseorang (hingga akhir hayat kita) yang harus masuk ‘surga’.
Semua harus di bawah bimbingan Allah dan Rasul-Nya.
|