Jumat, 03 Mei 2013

Mentari Tak Pernah Sendu



Kesenyapan  menyelimuti ruangan besar penuh dengan ratusan buku. Tak ada suara yang terdengar kecuali detakan jam. Beberapa kursi baca tampak kosong, karena yang berkunjung ke perpustakaan biasanya ialah siswa yang memang tertarik dengan ilmu dari bacaan.  Aku terpekur serius memusatkan pandangan ke buku yang kubaca sedari tadi. Namun, pikiranku beralih saat seseorang menepuk pundak kiriku. Aku terkesiap, menoleh penuh tanda tanda. Dengan dahi yang berkedut, lenganku ditarik kencang sambil mengikuti langkah Farah. Kulihat orang berlarian kearah yang sama dengan kami. Hingga bahuku tertubruk beberapa kali. Ayunan kaki Farah semakin lebar. Aku menyapu penglihatan ke seantero sekolah, tak ada tanda-tanda keriuhan saat istirahat berlangsung. Setelah menyusuri koridor, berbelok ke kiri, yang merupakan jalan menuju halaman belakang, barulah satu pikiran buruk menghentakkan mindaku. Betapa terkejutnya aku saat melihat puluhan orang saling bersorak, membuat ricuh suasana. Dan di tengah kerumunan itu, berdirilah seorang remaja lelaki yang sangat amat kukenal, bersama lawan duelnya yang sama-sama sudah berpercik darah.Seretan kakiku melemah, lalu terpaku di tempat. Farah melonggarkan genggamannya.
“Maaf, Mel. Aku telat mengabarimu.” Bisiknya lirih. Aku menghela napas pendek. Mencoba tegar dan kuat seraya berjalan kearah Satria, adikku. Kedatanganku seakan-akan menyedot suara. Yang tadinya bagai desingan lebah, kini hanyalah tatapan penuh bisu.
“Puas? Kegilaan apa lagi yang kamu buat?” Tanyaku penuh amarah di hadapan Satria. Jelas ia kaget menerima kehadiranku yang tiba-tiba. Luka lebam memenuhi kedua pipinya. Darah segar mengalir di sudut bibir kanannya. Hampir saja pertahananku jebol. Kalau saja aku tidak mengontrol diri, sudah bertubi-tubi emosiku yang meledak.  
“U-ni..” Ucapnya terbata-bata. Sorot matanya dalam penuh ketakutan. Masih terdengar napasnya  tersengal.
Angin siang meniupkan kesejukan. Tersebab pepohonan tinggi memayung terik. Farah datang menghampiri, bermaksud meredam kalutku. .
*****
“Minumlah.” Farah menyodorkan sebotol air mineral dingin. Aku meraihnya dengan lesu lalu bersandar kembali pada bangku kelas. Setelah kejadian di halaman tadi, Pak Agustav, selaku Kepala Sekolah, datang bersama jajaran guru lainnya. Aku tahu hal tersebut karena sempat berpapasan dengan mereka. Dan kulihat wajah mereka diliputi ketegangan. Tak banyak yang bisa kuperbuat. Hanya menunggu waktu saja  bahwa Satria benar-benar akan terhengkang dari sekolah.
“Jika ditanya seberapa berharganya orang-orang yang ada dihidupku, tanpa ragu aku akan menjawab lantang, Mama, Papa, dan Satria. Walaupun dalam pandangan orang disekitar tentang keadaan keluargaku yang mungkin tak layak disebut sebagai keluarga, aku tetap tak peduli. Aku sadar, aku masih lebih beruntung memiliki keluarga kecil dibanding dengan orang-orang di luar sana. Seperti katamu, bersyukurlah.” Seketika aku memeluk Farah erat sambil menangis sesenggukan. Ia  mendekapku hangat layaknya sahabat yang tahu bagaimana menguasai situasi.
“Amel,, jangan nangis lagi. Nanti matamu gede mirip ikan buntal.” Ia tertawa cekikikan sambil sesekali mengusap-usap punggungku.
“Apaan sih..” Aku mendorongnya pelan. Mendung yang tadi menggelayut kini terhapus angin kedamaian, lembut menelusup celah hati.
Suatu kefitrahan bila dibalik kekurangan pasti Allah sandingkan dengan kelebihan. Hanya saja terkadang manusia terlalu picik dan terpaku pada sisi kekurangannya saja. Jika kita mau menyisakan sedikit waktu untuk membuka mata, hati, dan pikiran, maka akan banyak nikmat-nikmat Sang Maha Kuasa yang akan ditemukan terbentang serta mengelilingi hidup kita. Begitu halnya dengan sahabat, ia sama dengan nikmat. Nikmat kesekian yang Allah titipkan untuk kita.
Diantara tujuh kelompok yang dinaungi Allah di bawah naungan-Nya pada saat hari kiamat ialah, “dua orang yang yang saling mencintai karena Allah keduanya bertemu dan berpisah karena-Nya” ( Al-Bukhari ).
*****
Malam ini kubiarkan daun jendela terbuka lebar.  Tak mengapa kawanan angin menampar wajahku. Karena yang kubutuhkan memang ini, mengais ketenangan. Langit tampak bersih. Ribuan perisai Kerajaan Agung membagi kerlipnya. Kuamati kembali secarik kertas yang masih terlihat lipatan rapinya.
“Berpikirlah lebih dewasa. Kamu itu bukan anak kecil lagi. Setidaknya kamu bisa memahami situasi dan kondisi keluarga kita. Kalau memang kamu tidak mau ikut andil menyelesaikannya, cukuplah menjadi anak yang baik. Tidak bertingkah seperti tadi! Uni tahu, kamu juga tertekan. Tapi bukan dengan jalan perkelahian sebagai pelampiasannya. Apalagi hanya karena memperebutkan seorang cewek. Sekali lagi, berpikirlah lebih dewasa.”
Aku teringat lontaran kalimat penuh kesal yang tertuju ke Satria saat pulang sekolah tadi sore. Entahlah dia mau mendengarkan atau tidak. Mungkin mendengar, tapi akan tak bertahan lama hinggap di memorinya. Yang ku tahu ia hanya berjalan sambil menunduk. Aku memang cukup cerewet terhadap Satria. Tapi itulah bentuk perhatian yang kuberikan untuknya. Karena dialah yang banyak mengisi penggalan hari-hariku di tengah kesibukan dan kecekcokan Mama dan Papa. Jika tak ada pengontrolan dariku, akan jadi berandalan seperti apa Satria nantinya.
Bergegas kusudahi lamunanku. Mau tidak mau aku harus menyerahkan surat diskorsing oleh pihak sekolah kepada orang tua. Satria Pradana, nama yang sudah tak asing lagi yang memenuhi buku pelanggaran. Bagi orang, aku berbanding  terbalik 180 derajat dengannya. Biasanya, untuk melihat bagaimana karakter  sang adik, lihat saja bagaimana karakter kakaknya. Tapi kurasa teori tersebut tidak berlaku untuk kami. Wajah kami memang sedikit mirip. Namun sifat, prestasi, kebiasaan, sikap, sangat bertolak belakang. Yang kukhawatirkan ialah bagaimana nantinya bila aku telah lulus kelas tiga. Akankah Satria bisa memenuhi permintaanku agar ia menjalani hari dengan sewajarnya. Layaknya siswa yang baik-baik saja. Ataukah mungkin kebaikan hati sekolah untuk menerima dia hilang selepas kepergianku karena segunung kesalahannya yang sudah tidak bisa ditoleran.
Setelah menuruni anak tangga, kurasakan aroma kesunyian. Tak henti-hentinya aku melemparkan pandangan ke setiap sudut rumah. Namun yang kudapati masih dengan hal yang sama, tak ada siapapun.
“Kenapa? Apa yang kamu cari?” Tiba-tiba Papa datang dan membuatku sedikit terkejut. Aku berbalik. Tanpa berucap sepatah katapun, kuserahkan secarik kertas tadi kepadanya. Lelaki yang masih mengenakan kemeja kerja itu menerimanya. Tanpa butuh waktu semenit untuk membaca, dia langsung mengambil langkah lebar menaiki tangga. Menuju kamar Satria! Seketika jantungku berirama ketakutan. Tak ada yang bisa menghalangi kemarahan Papa. Ada butiran kristal yang bergelantungan di sudut mataku. Siap untuk ditumpahkan. Sungguh tak bisa kubayangkan jika adik semata wayangku itu dibentak dan dipukul habis-habisan oleh Papa. Kuikuti dia dari belakang.
“Satria! Buka pintunya!” Pintu kamar Satria dikunci. Suara bariton Papa serta ketukan menghujam malam. Bahkan dari luarpun akan terdengar. Teriakan Papa terus berlanjut sambil berusaha membuka pintu. Namun tatap saja tak ada tanda-tanda bahwa Satria akan membukanya. Kesabaran Papa habis, tanpa isyarat dia membuka paksa dengan dobrakan. Alhasil pintupun terbuka. Dan pemandangan yang tak terduga terlihat. Membuatku membelalakkan mata seraya mendekap mulut tak percaya. Semuanya memudar. Aku lemas. Papa mendekati tubuh Satria yang tergeletak tak berdaya di atas karpet. Mulutnya mengeluarkan busa putih. Disekitarnya bertebaran bungkusan berisi pil dan juga serbuk.
Ya Allah, sejak kapan dia mengkonsumsi ini semua?  Aku menangis dalam hati.
Barang-barang  haram yang biasanya kulihat dalam buku ataupun televisi, kini tampak nyata di mataku. Ekstasi, jarum suntik serta apalah lagi yang namanya tak kupedulikan. Kudekati tubuh yang tak berkutik sedikitpun itu. Satria terkulai di atas kasur. Perasaanku bercampur aduk. Ada marah, sedih, iba. Karena mendengar kegaduhan, Mama datang tergopoh-gopoh. Setelah melihat kejadian itu, ia berteriak histeris.
“Astaga! Satria.. apa yang terjadi padamu, Nak?” Mama menggoncang serta membelai lembut rambut Satria, “hei, kau apakan lagi dia?”
“Seenaknya saja kau menyalahkanku seperti itu. Lihatlah perbuatanmu anakmu!”  Papa membalas tudingan Mama seraya melemparkan satu jari telunjuknya ke karpet biru. Mama terperanjat. Membelalakkan mata tak percaya. Sama seperti aku tadi.
“Tak mungkin. Mustahil..” Air matanya meleleh seketika. Meraung. Suaranya memenuhi langit-langit kamar.
“Ini semua akibat kau, Dina. Tak becus mengurusi anak. Lihatlah sekarang. Apa yang bisa kau perbuat selain meratap?”  Bentak Papa.
“Hei,sadarlah. Dia juga anakmu. Sampai kapan kau akan terus menyalahkanku seperti ini. Kau kira dirimu yang paling benar? Tak bersalah?”
Kesabaranku habis..
“Hentikan! Cukup! Pertengkaran kalian hanya akan membuat Satria kehilangan nyawanya.” Teriakku sambil tersedu tak tahan. Mereka terdiam. Menatapku yang sedang berpatah-patah napas. Kutinggalkan mereka berdua. Menjauh seraya mengusap air mata yang tumpah.
Tak ada masa-masa indah yang biasanya orang katakan. Bagiku itu hanya cerita dongeng. Nyatanya, api kecamuk terus melahap rumahku, badai permasalahan tak hentinya menghadang. Kepalaku serasa ingin pecah. Tangisku mengisi pekat malam.
Segera aku mengemasi beberapa helai pakaian lalu memasukkannya ke dalam ransel. Keputusanku bulat. Kabur untuk yang pertama kalinya.
*****
Di depan sebuah kediaman yang sederhana, aku berjalan perlahan  mendekati. Dengan sedikit kekuatan yang masih tersisa, kuberusaha mengetuk pintu agar di buka oleh sang pemilik rumah. Aku nyaris pingsan. Sekujur tubuhku menggigil hebat. Pintu terbuka.
“Masya Allah! Amel, ayo cepat masuk.” Farah menarik lenganku.
Dinginnya air hujan menusuk tulangku. Seperi mayat hidup, mungkin itu yang akan orang katakan ketika melihat betapa pucatnya aku. Petir di luar semakin mengaum membahana. Bersahutan meneriakkan keperkasaannya. Farah datang dengan langkah lebar seraya membawa sehelai handuk dan secangkir teh hangat. Handuk dan teh itu cukup untuk mengurangi dahsyatnya hawa dingin yang menelusup. Beberapa menit kemudian, kedua orang tua Farah muncul dari balik lemari besar yang membatasi antara ruang tamu dan ruang keluarga, mereka tampak sedikit kaget dan prihatin menatap kehadiranku. Sebenarnya, ini sudah yang kesekian kalinya aku berkunjung ke rumah Farah. Bahkan aku sudah dianggap bagian dari keluarga mereka. Hanya saja, kedatanganku yang mendadak di malam hari, menyemburatkan tanda tanya dan kekhawatiran di benak mereka. Ibunya Farah duduk sambil mendekapku. Jujur, ada getaran yang mengalun. Aku tak ingat lagi kapan terakhir kalinya Mama memelukku seperti ini.
“Ya sudah, bawa Amel ke kamarmu. Biar Raffa tidur di kamar Ayah saja sama Ibu. Nanti Ayah tidur di sofa.” Titah Ayah Farah dengan bijak.
Rumah Farah tak terlalu luas. Walaupun tergolong keluarga sederhana, tapi rasa kekeluargaan mereka tinggi. Bahkan aku sempat iri. Tapi ya sudahlah, manusia memang tak pernah puas. Selalu merasa kurang atas apa yang sudah dimiliki. Cuek saja, pikirku.
“Maaf. Aku merepotkanmu.” Ujarku lirih.
“Tak apa-apa. “ Ia menjawab dengan senyum yang mengulum tulus.
Malam ini, kutumpahkan segala beban yang mengganjal. Kuceritakan masalah yang menimpa Satria. Ia mendengarkanku dengan seksama sambil menggenggam jemariku disaat aku tersendat mengurai kalimat.
Sekilas, aku memang tampak seperti orang yang serius di depan umum. Mungkin itu karena kacamata minus yang kukenakan dan berjalan sambil mendekap buku di dada. Tapi, dibalik hal itu, aku menekan semua permasalahan yang tak kunjung habis agar tak terlihat dan mengganggu aktifitasku. Bahkan orang berpikir hidupku mulus-mulus saja. Beasiswa penuh kuterima, tawaran lomba-lomba ilmiah datang silih berganti, guru-guru menyenangiku, dan akupun tak ada masalah dengan teman-teman ataupun kakak dan adik kelas.
Kusudahi curhatku. Farah memberikan masukan agar aku sedikit lebih tenang. Rata-rata, wanita hanya butuh didengar saat dia mempunyai masalah. Berbeda dengan lelaki, dia hanya diam dan menjauh untuk merilekskan diri dan berusaha agar masalah tersebut terlupakan.
“Orang tuamu pasti sangat khawatir. Besok kuantar pulang ya?”
Aku tak merespon. Perasaanku masih kalut dan tertekan.
“Ayolah. Sekalian aku mau menjenguk adikmu di rumah sakit. Biar bagaimanapun dia pasti mencarimu. Apalagi orang tuamu, mereka sangat mencemaskanmu.”
Aku mencerna kalimatnya. Nuraniku sedikit tersentil untuk mengikuti nasihatnya. Namun, “aku masih butuh ketenangan,Far. Kalau pulang, pikiranku akan semakin runyam. Izinkanku untuk tetap di sini ya?”
Farah menghela napas pendek lalu mengangguk pasrah.
Di luar, hujan mulai mereda. Tapi masih terdengar guntur yang memekik kecil. Suasana rumah sudah sunyi senyap.
*****
“Hei, bangun neng. Udah pagi.”
Aku menggeliat malas. Mataku sangat berat. Sambil menyipit kulirik arloji yang melingkari lengan kananku.
“Ini masih jam setengah lima, Far. Masih malam.” Suaraku terdengar parau.
“Oh tidak bisa. Kamu harus bangun. Kita shalat shubuh di masjid.”
Hap! Farah benar-benar memaksaku bangkit dari kasur. Ia menarik kedua tanganku. Eentah kekuatan apa yang dia pakai sehingga mampu menopang badanku yang massanya dua kali lebih besar darinya. Seperti orang tunanetra saja ketika aku didorong Farah menuju kamar mandi. Aku memang mengerjakan shalat. Tapi ya begitulah, bolong-bolong tak rutin seperti dedaunan yang dimakan ulat. Terhitung sejak kecil, Papa ataupun Mama tak pernah mendidikku untuk urusan agama. Apalagi mendisiplinkanku untuk melaksanakan ibadah yang wajib ini. Sungguh, aku cukup kagum dengan keluarga sahabatku ini. Didikan serta kasih sayang yang tercurah membuat pribadi Farah menjadi baik. Dia sangat aktif di kegiatan rohis. Sedangkan aku menggeluti kegiatan OSIS. Tapi untung saja, untuk urusan shalat aku belum lupa gerakan serta bacaannya.
Lantunan zikir menggema di celah pagi. Aku dan Farah bergegas melakukan rencana tadi malam, yaitu bersepeda. Tiba-tiba terbetik rasa untuk mengaktifkan hp yang memang sengaja kumatikan sejak tadi malam. Tak kusangka, ada lima buah pesan yang belum terbaca. Dan itu yang mengirim adalah Papa. Sebenarnya, niat awalku untuk mengasingkan diri dari keributan di rumah ialah agar kedua orang tuaku sadar akan sikap mereka yang sangat memicu emosional dan rasa stress terhadap anak-anaknya. Serta menghentikan segala kesibukan yang bisa melalaikan perhatian terhadap kelabilan yang Satria hadapi.
“Gimana perasaanmu? Udah baikan?”
Aku mengangguk perlahan. “Begitulah.
Perumahan Farah masih tergolong asri. Polusi tidak terlalu banyak berkeliaran seperti keadaan di tengah kota Padang. Pebukitan berdiri kokoh memagari tiap meter jalanan yang terbentang. Waktu semakin berpacu, dan kendaraanpun semakin banyak berlalu-lalang. Aku dan Farah bergegas menyudahi, lalu berbalik arah menuju rumah kembali. Namun, tiba-tiba dari belakang kami suara klakson mobil menyentakkan Farah yang sedang mengayuh sepeda. Aku mengernyitkan dahi tak paham. Padahal kami sudah berada pada sisi jalan yang benar. Mobil berhenti tepat dua meter di belakang kami. Aku turun dari boncengan. Setelah kuamati, tak sengaja aku membaca plat Avanza hitam itu yang ternyata amat kukenal. Aku terperanjat kaget dan mengambil langkah mundur. Tak berapa lama kemudian, seorang lelaki berkaos strip biru-putih keluar dan berjalan tegap ke arahku.
Kenapa Papa tahu aku ada disini. Siapa yang memberikan informasi. Batinku bergemuruh. Dugaanku tak salah, Papa langsung mencengkram keras lengan kananku. Menarik paksa agar masuk ke dalam mobil. Farah berusaha menolongku sambil memohon supaya Papa berkenan untuk barang sejenak menyinggahi rumahnya. Agar permasalahan dapat terselesaikan. Tapi dia enggan. Matanya menyalang merah. Menyiratkan kemarahan yang dalam. Aku pasrah. Dari balik jendela mobil, kulihat wajah Farah yang terbungkus resah.
Roda berputar membelah jalanan. Aku membuang pandangan ke luar, tak mempedulikan Papa yang terus saja meluapkan amarahnya. Nada suaranya yang tinggi sudah membuat telingaku cukup kebas. Bahkan jaripun tak akan mampu berapa kali dia marah dalam seminggu. Disela kalimatnya, nama Satria disebutkan bahwa sekarang dia akan diberhentikan sekolah oleh Papa dan segera dimasukkan ke panti rehabilitasi. Napasku tercekat, mataku panas. Itu berarti Satria telah lama memakan barang jahannam itu. Langit seakan-akan runtuh menghujam tepat di atas kepalaku. Adikku sendiri, pemakai akut. Sudahlah, aku terlalu lelah menghadapi urusan dunia yang pelik ini. Adakah tempat dimana aku bisa lepas dari masalah dan bebas merajut waktu tanpa beban? Sekali saja…
*****
Setahun berlalu semenjak kejadian itu…
Masa putih abu-abu itu sudah kutinggalkan jauh dibelakang. Walaupun perceraian kedua orang tuaku membuatku sedikit terguncang. Bahkan hampir saja menghancurkan daya konsentrasiku selama menjalani persiapan ujian nasional. Satria masih dalam pantauanku. Sejauh ini dia mengalami perkembangan yang baik. Satu hal kabar gembira buatku, dia sudah semakin rajin mengerjakan shalat lima waktu. Tak ada lagi aura sendu yang menggelayuti wajahnya. Tampak semangat hidup membakar dirinya untuk bangkit.
Kisah lampau itu setidaknya mampu menjadi pelajaran buatku, tanpa harus mengulang sejarah kedua orang tuaku. Karena sejatinya, karakter serta sikap seorang anak akan terbentuk sesuai ajaran dan pemahaman-pemahaman yang baik, yang diberikan oleh orang tua di rumah. Jika saja aku enggan mencari pemahaman yang benar di atas permasalahanku, mungkin aku akan bernasib sama seperti Satria. Lalu jadilah kami berdua orang yang benar-benar tak ada gunanya. Kehadiran Farah yang mengajarkanku akan arti dari kekuatan sabar dan semua yang bersumber dari Allah, menjadi sebuah kesyukuran yang luar biasa. Bukan berarti aku menafikan jasa ataupun belai kasih yang pernah Papa-Mama berikan, hanya saja ada kebahagiaaan tersendiri ketika kekuatan itu datang dari Sang Kuasa melalui Farah.
Jilbabku melambai ditiup angin pantai. Selama masa-masa sulit yang kuhadapi, Farah selalu berada di sampingku, menguatkan, meyakinkan, menghibur. Ah, aku merindukan gadis itu. Rindu yang menembus cakrawala senja. Kini, kami tak lagi bersama. Jalur prestasi yang dia ikuti membuatnya lulus pada pilihan pertama, Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung. Dan aku mahasiswi Psikologi Universitas Andalas. Diambang batas perpisahan, dia membisikkan kalimat penguatan, sehingga aku semakin mantap untuk terus berdiri di atas jalan kebenaran. Jalan yang sudah tertulis di lembaran cinta dari Illahi, berisi kunci keselamatan. Tak pernah aku merasakan sebelumnya rasa tenang bagai bayu yang menari mengisi relung kalbu. Aku percaya, tak ada yang perlu disesali pada keputusan yang telah diambil. Walau dulu kelabu menyemai hati, namun tekadku seperti mentari. Yang tak akan pernah berhenti menebar pendar indah. Jilbabku, kini menjadi identitasku sebagai muslimah. Hasbunallahu wani’malwakiil…

Bagikan

Jangan lewatkan

Mentari Tak Pernah Sendu
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

1 komentar:

Tulis komentar
avatar
3 Juni 2013 pukul 18.55

wo,,kenapa harus mahasiswa psikologi unand pie??

Reply