Kesenyapan menyelimuti ruangan besar penuh dengan ratusan
buku. Tak ada suara yang terdengar kecuali detakan jam. Beberapa kursi baca
tampak kosong, karena yang berkunjung ke perpustakaan biasanya ialah siswa yang
memang tertarik dengan ilmu dari bacaan. Aku terpekur serius memusatkan pandangan ke
buku yang kubaca sedari tadi. Namun, pikiranku beralih saat seseorang menepuk
pundak kiriku. Aku terkesiap, menoleh penuh tanda tanda. Dengan dahi yang
berkedut, lenganku ditarik kencang sambil mengikuti langkah Farah. Kulihat
orang berlarian kearah yang sama dengan kami. Hingga bahuku tertubruk beberapa
kali. Ayunan kaki Farah semakin lebar. Aku menyapu penglihatan ke seantero
sekolah, tak ada tanda-tanda keriuhan saat istirahat berlangsung. Setelah
menyusuri koridor, berbelok ke kiri, yang merupakan jalan menuju halaman
belakang, barulah satu pikiran buruk menghentakkan mindaku. Betapa terkejutnya
aku saat melihat puluhan orang saling bersorak, membuat ricuh suasana. Dan di
tengah kerumunan itu, berdirilah seorang remaja lelaki yang sangat amat
kukenal, bersama lawan duelnya yang sama-sama sudah berpercik darah.Seretan
kakiku melemah, lalu terpaku di tempat. Farah melonggarkan genggamannya.
“Maaf, Mel. Aku telat
mengabarimu.” Bisiknya lirih. Aku menghela napas pendek. Mencoba tegar dan kuat
seraya berjalan kearah Satria, adikku. Kedatanganku seakan-akan menyedot suara.
Yang tadinya bagai desingan lebah, kini hanyalah tatapan penuh bisu.
“Puas? Kegilaan apa
lagi yang kamu buat?” Tanyaku penuh amarah di hadapan Satria. Jelas ia kaget
menerima kehadiranku yang tiba-tiba. Luka lebam memenuhi kedua pipinya. Darah
segar mengalir di sudut bibir kanannya. Hampir saja pertahananku jebol. Kalau saja
aku tidak mengontrol diri, sudah bertubi-tubi emosiku yang meledak.
“U-ni..” Ucapnya
terbata-bata. Sorot matanya dalam penuh ketakutan. Masih terdengar
napasnya tersengal.
Angin siang meniupkan
kesejukan. Tersebab pepohonan tinggi memayung terik. Farah datang menghampiri,
bermaksud meredam kalutku. .
*****
“Minumlah.” Farah
menyodorkan sebotol air mineral dingin. Aku meraihnya dengan lesu lalu
bersandar kembali pada bangku kelas. Setelah kejadian di halaman tadi, Pak
Agustav, selaku Kepala Sekolah, datang bersama jajaran guru lainnya. Aku tahu hal
tersebut karena sempat berpapasan dengan mereka. Dan kulihat wajah mereka
diliputi ketegangan. Tak banyak yang bisa kuperbuat. Hanya menunggu waktu
saja bahwa Satria benar-benar akan
terhengkang dari sekolah.
“Jika ditanya seberapa
berharganya orang-orang yang ada dihidupku, tanpa ragu aku akan menjawab
lantang, Mama, Papa, dan Satria. Walaupun dalam pandangan orang disekitar
tentang keadaan keluargaku yang mungkin tak layak disebut sebagai keluarga, aku
tetap tak peduli. Aku sadar, aku masih lebih beruntung memiliki keluarga kecil
dibanding dengan orang-orang di luar sana. Seperti katamu, bersyukurlah.” Seketika
aku memeluk Farah erat sambil menangis sesenggukan. Ia mendekapku hangat layaknya sahabat yang tahu
bagaimana menguasai situasi.
“Amel,, jangan nangis
lagi. Nanti matamu gede mirip ikan
buntal.” Ia tertawa cekikikan sambil sesekali mengusap-usap punggungku.
“Apaan sih..” Aku
mendorongnya pelan. Mendung yang tadi menggelayut kini terhapus angin
kedamaian, lembut menelusup celah hati.
Suatu kefitrahan bila
dibalik kekurangan pasti Allah sandingkan dengan kelebihan. Hanya saja
terkadang manusia terlalu picik dan terpaku pada sisi kekurangannya saja. Jika
kita mau menyisakan sedikit waktu untuk membuka mata, hati, dan pikiran, maka
akan banyak nikmat-nikmat Sang Maha Kuasa yang akan ditemukan terbentang serta
mengelilingi hidup kita. Begitu halnya dengan sahabat, ia sama dengan nikmat. Nikmat
kesekian yang Allah titipkan untuk kita.
Diantara tujuh kelompok
yang dinaungi Allah di bawah naungan-Nya pada saat hari kiamat ialah, “dua orang yang yang saling mencintai karena
Allah keduanya bertemu dan berpisah karena-Nya” ( Al-Bukhari ).
*****
Malam ini kubiarkan
daun jendela terbuka lebar. Tak mengapa
kawanan angin menampar wajahku. Karena yang kubutuhkan memang ini, mengais
ketenangan. Langit tampak bersih. Ribuan perisai Kerajaan Agung membagi
kerlipnya. Kuamati kembali secarik kertas yang masih terlihat lipatan rapinya.
“Berpikirlah lebih dewasa. Kamu itu bukan anak kecil
lagi. Setidaknya kamu bisa memahami situasi dan kondisi keluarga kita. Kalau
memang kamu tidak mau ikut andil menyelesaikannya, cukuplah menjadi anak yang
baik. Tidak bertingkah seperti tadi! Uni tahu, kamu juga tertekan. Tapi bukan
dengan jalan perkelahian sebagai pelampiasannya. Apalagi hanya karena
memperebutkan seorang cewek. Sekali lagi, berpikirlah lebih dewasa.”
Aku teringat lontaran
kalimat penuh kesal yang tertuju ke Satria saat pulang sekolah tadi sore. Entahlah
dia mau mendengarkan atau tidak. Mungkin mendengar, tapi akan tak bertahan lama
hinggap di memorinya. Yang ku tahu ia hanya berjalan sambil menunduk. Aku
memang cukup cerewet terhadap Satria. Tapi itulah bentuk perhatian yang
kuberikan untuknya. Karena dialah yang banyak mengisi penggalan hari-hariku di
tengah kesibukan dan kecekcokan Mama dan Papa. Jika tak ada pengontrolan
dariku, akan jadi berandalan seperti apa Satria nantinya.
Bergegas kusudahi
lamunanku. Mau tidak mau aku harus menyerahkan surat diskorsing oleh pihak
sekolah kepada orang tua. Satria Pradana, nama yang sudah tak asing lagi yang
memenuhi buku pelanggaran. Bagi orang, aku berbanding terbalik 180 derajat dengannya. Biasanya,
untuk melihat bagaimana karakter sang
adik, lihat saja bagaimana karakter kakaknya. Tapi kurasa teori tersebut tidak
berlaku untuk kami. Wajah kami memang sedikit mirip. Namun sifat, prestasi,
kebiasaan, sikap, sangat bertolak belakang. Yang kukhawatirkan ialah bagaimana
nantinya bila aku telah lulus kelas tiga. Akankah Satria bisa memenuhi permintaanku
agar ia menjalani hari dengan sewajarnya. Layaknya siswa yang baik-baik saja.
Ataukah mungkin kebaikan hati sekolah untuk menerima dia hilang selepas
kepergianku karena segunung kesalahannya yang sudah tidak bisa ditoleran.
Setelah menuruni anak
tangga, kurasakan aroma kesunyian. Tak henti-hentinya aku melemparkan pandangan
ke setiap sudut rumah. Namun yang kudapati masih dengan hal yang sama, tak ada
siapapun.
“Kenapa? Apa yang kamu
cari?” Tiba-tiba Papa datang dan membuatku sedikit terkejut. Aku berbalik.
Tanpa berucap sepatah katapun, kuserahkan secarik kertas tadi kepadanya. Lelaki
yang masih mengenakan kemeja kerja itu menerimanya. Tanpa butuh waktu semenit
untuk membaca, dia langsung mengambil langkah lebar menaiki tangga. Menuju
kamar Satria! Seketika jantungku berirama ketakutan. Tak ada yang bisa
menghalangi kemarahan Papa. Ada butiran kristal yang bergelantungan di sudut
mataku. Siap untuk ditumpahkan. Sungguh tak bisa kubayangkan jika adik semata
wayangku itu dibentak dan dipukul habis-habisan oleh Papa. Kuikuti dia dari
belakang.
“Satria! Buka
pintunya!” Pintu kamar Satria dikunci. Suara bariton Papa serta ketukan
menghujam malam. Bahkan dari luarpun akan terdengar. Teriakan Papa terus
berlanjut sambil berusaha membuka pintu. Namun tatap saja tak ada tanda-tanda
bahwa Satria akan membukanya. Kesabaran Papa habis, tanpa isyarat dia membuka
paksa dengan dobrakan. Alhasil pintupun terbuka. Dan pemandangan yang tak
terduga terlihat. Membuatku membelalakkan mata seraya mendekap mulut tak
percaya. Semuanya memudar. Aku lemas. Papa mendekati tubuh Satria yang
tergeletak tak berdaya di atas karpet. Mulutnya mengeluarkan busa putih.
Disekitarnya bertebaran bungkusan berisi pil dan juga serbuk.
Ya Allah, sejak kapan dia mengkonsumsi ini semua? Aku menangis
dalam hati.
Barang-barang haram yang biasanya kulihat dalam buku
ataupun televisi, kini tampak nyata di mataku. Ekstasi, jarum suntik serta
apalah lagi yang namanya tak kupedulikan. Kudekati tubuh yang tak berkutik
sedikitpun itu. Satria terkulai di atas kasur. Perasaanku bercampur aduk. Ada
marah, sedih, iba. Karena mendengar kegaduhan, Mama datang tergopoh-gopoh.
Setelah melihat kejadian itu, ia berteriak histeris.
“Astaga! Satria.. apa
yang terjadi padamu, Nak?” Mama menggoncang serta membelai lembut rambut
Satria, “hei, kau apakan lagi dia?”
“Seenaknya saja kau
menyalahkanku seperti itu. Lihatlah perbuatanmu anakmu!” Papa membalas tudingan Mama seraya melemparkan
satu jari telunjuknya ke karpet biru. Mama terperanjat. Membelalakkan mata tak percaya.
Sama seperti aku tadi.
“Tak mungkin.
Mustahil..” Air matanya meleleh seketika. Meraung. Suaranya memenuhi
langit-langit kamar.
“Ini semua akibat kau,
Dina. Tak becus mengurusi anak. Lihatlah sekarang. Apa yang bisa kau perbuat
selain meratap?” Bentak Papa.
“Hei,sadarlah. Dia juga
anakmu. Sampai kapan kau akan terus menyalahkanku seperti ini. Kau kira dirimu
yang paling benar? Tak bersalah?”
Kesabaranku habis..
“Hentikan! Cukup! Pertengkaran
kalian hanya akan membuat Satria kehilangan nyawanya.” Teriakku sambil tersedu
tak tahan. Mereka terdiam. Menatapku yang sedang berpatah-patah napas.
Kutinggalkan mereka berdua. Menjauh seraya mengusap air mata yang tumpah.
Tak ada masa-masa indah
yang biasanya orang katakan. Bagiku itu hanya cerita dongeng. Nyatanya, api
kecamuk terus melahap rumahku, badai permasalahan tak hentinya menghadang.
Kepalaku serasa ingin pecah. Tangisku mengisi pekat malam.
Segera aku mengemasi
beberapa helai pakaian lalu memasukkannya ke dalam ransel. Keputusanku bulat.
Kabur untuk yang pertama kalinya.
*****
Di depan sebuah
kediaman yang sederhana, aku berjalan perlahan mendekati. Dengan sedikit kekuatan yang masih
tersisa, kuberusaha mengetuk pintu agar di buka oleh sang pemilik rumah. Aku
nyaris pingsan. Sekujur tubuhku menggigil hebat. Pintu terbuka.
“Masya Allah! Amel, ayo
cepat masuk.” Farah menarik lenganku.
Dinginnya air hujan
menusuk tulangku. Seperi mayat hidup, mungkin itu yang akan orang katakan
ketika melihat betapa pucatnya aku. Petir di luar semakin mengaum membahana.
Bersahutan meneriakkan keperkasaannya. Farah datang dengan langkah lebar seraya
membawa sehelai handuk dan secangkir teh hangat. Handuk dan teh itu cukup untuk
mengurangi dahsyatnya hawa dingin yang menelusup. Beberapa menit kemudian,
kedua orang tua Farah muncul dari balik lemari besar yang membatasi antara
ruang tamu dan ruang keluarga, mereka tampak sedikit kaget dan prihatin menatap
kehadiranku. Sebenarnya, ini sudah yang kesekian kalinya aku berkunjung ke
rumah Farah. Bahkan aku sudah dianggap bagian dari keluarga mereka. Hanya saja,
kedatanganku yang mendadak di malam hari, menyemburatkan tanda tanya dan
kekhawatiran di benak mereka. Ibunya Farah duduk sambil mendekapku. Jujur, ada
getaran yang mengalun. Aku tak ingat lagi kapan terakhir kalinya Mama memelukku
seperti ini.
“Ya sudah, bawa Amel ke
kamarmu. Biar Raffa tidur di kamar Ayah saja sama Ibu. Nanti Ayah tidur di
sofa.” Titah Ayah Farah dengan bijak.
Rumah Farah tak terlalu
luas. Walaupun tergolong keluarga sederhana, tapi rasa kekeluargaan mereka
tinggi. Bahkan aku sempat iri. Tapi ya sudahlah, manusia memang tak pernah
puas. Selalu merasa kurang atas apa yang sudah dimiliki. Cuek saja, pikirku.
“Maaf. Aku
merepotkanmu.” Ujarku lirih.
“Tak apa-apa. “ Ia
menjawab dengan senyum yang mengulum tulus.
Malam ini, kutumpahkan
segala beban yang mengganjal. Kuceritakan masalah yang menimpa Satria. Ia
mendengarkanku dengan seksama sambil menggenggam jemariku disaat aku tersendat
mengurai kalimat.
Sekilas, aku memang
tampak seperti orang yang serius di depan umum. Mungkin itu karena kacamata
minus yang kukenakan dan berjalan sambil mendekap buku di dada. Tapi, dibalik
hal itu, aku menekan semua permasalahan yang tak kunjung habis agar tak
terlihat dan mengganggu aktifitasku. Bahkan orang berpikir hidupku mulus-mulus
saja. Beasiswa penuh kuterima, tawaran lomba-lomba ilmiah datang silih
berganti, guru-guru menyenangiku, dan akupun tak ada masalah dengan teman-teman
ataupun kakak dan adik kelas.
Kusudahi curhatku.
Farah memberikan masukan agar aku sedikit lebih tenang. Rata-rata, wanita hanya
butuh didengar saat dia mempunyai masalah. Berbeda dengan lelaki, dia hanya
diam dan menjauh untuk merilekskan diri dan berusaha agar masalah tersebut
terlupakan.
“Orang tuamu pasti
sangat khawatir. Besok kuantar pulang ya?”
Aku tak merespon.
Perasaanku masih kalut dan tertekan.
“Ayolah. Sekalian aku
mau menjenguk adikmu di rumah sakit. Biar bagaimanapun dia pasti mencarimu.
Apalagi orang tuamu, mereka sangat mencemaskanmu.”
Aku mencerna
kalimatnya. Nuraniku sedikit tersentil untuk mengikuti nasihatnya. Namun, “aku
masih butuh ketenangan,Far. Kalau pulang, pikiranku akan semakin runyam.
Izinkanku untuk tetap di sini ya?”
Farah menghela napas
pendek lalu mengangguk pasrah.
Di luar, hujan mulai
mereda. Tapi masih terdengar guntur yang memekik kecil. Suasana rumah sudah
sunyi senyap.
*****
“Hei, bangun neng. Udah
pagi.”
Aku menggeliat malas.
Mataku sangat berat. Sambil menyipit kulirik arloji yang melingkari lengan
kananku.
“Ini masih jam setengah
lima, Far. Masih malam.” Suaraku terdengar parau.
“Oh tidak bisa. Kamu
harus bangun. Kita shalat shubuh di masjid.”
Hap! Farah benar-benar
memaksaku bangkit dari kasur. Ia menarik kedua tanganku. Eentah kekuatan apa
yang dia pakai sehingga mampu menopang badanku yang massanya dua kali lebih
besar darinya. Seperti orang tunanetra saja ketika aku didorong Farah menuju
kamar mandi. Aku memang mengerjakan shalat. Tapi ya begitulah, bolong-bolong
tak rutin seperti dedaunan yang dimakan ulat. Terhitung sejak kecil, Papa ataupun
Mama tak pernah mendidikku untuk urusan agama. Apalagi mendisiplinkanku untuk
melaksanakan ibadah yang wajib ini. Sungguh, aku cukup kagum dengan keluarga
sahabatku ini. Didikan serta kasih sayang yang tercurah membuat pribadi Farah
menjadi baik. Dia sangat aktif di kegiatan rohis. Sedangkan aku menggeluti kegiatan
OSIS. Tapi untung saja, untuk urusan shalat aku belum lupa gerakan serta
bacaannya.
Lantunan zikir menggema
di celah pagi. Aku dan Farah bergegas melakukan rencana tadi malam, yaitu bersepeda.
Tiba-tiba terbetik rasa untuk mengaktifkan hp yang memang sengaja kumatikan
sejak tadi malam. Tak kusangka, ada lima buah pesan yang belum terbaca. Dan itu
yang mengirim adalah Papa. Sebenarnya, niat awalku untuk mengasingkan diri dari
keributan di rumah ialah agar kedua orang tuaku sadar akan sikap mereka yang
sangat memicu emosional dan rasa stress terhadap anak-anaknya. Serta
menghentikan segala kesibukan yang bisa melalaikan perhatian terhadap kelabilan
yang Satria hadapi.
“Gimana perasaanmu?
Udah baikan?”
Aku mengangguk
perlahan. “Begitulah.
Perumahan Farah masih
tergolong asri. Polusi tidak terlalu banyak berkeliaran seperti keadaan di
tengah kota Padang. Pebukitan berdiri kokoh memagari tiap meter jalanan yang terbentang.
Waktu semakin berpacu, dan kendaraanpun semakin banyak berlalu-lalang. Aku dan
Farah bergegas menyudahi, lalu berbalik arah menuju rumah kembali. Namun,
tiba-tiba dari belakang kami suara klakson mobil menyentakkan Farah yang sedang
mengayuh sepeda. Aku mengernyitkan dahi tak paham. Padahal kami sudah berada
pada sisi jalan yang benar. Mobil berhenti tepat dua meter di belakang kami.
Aku turun dari boncengan. Setelah kuamati, tak sengaja aku membaca plat Avanza
hitam itu yang ternyata amat kukenal. Aku terperanjat kaget dan mengambil
langkah mundur. Tak berapa lama kemudian, seorang lelaki berkaos strip
biru-putih keluar dan berjalan tegap ke arahku.
Kenapa Papa tahu aku ada disini. Siapa yang
memberikan informasi. Batinku
bergemuruh. Dugaanku tak salah, Papa langsung mencengkram keras lengan kananku.
Menarik paksa agar masuk ke dalam mobil. Farah berusaha menolongku sambil
memohon supaya Papa berkenan untuk barang sejenak menyinggahi rumahnya. Agar
permasalahan dapat terselesaikan. Tapi dia enggan. Matanya menyalang merah. Menyiratkan
kemarahan yang dalam. Aku pasrah. Dari balik jendela mobil, kulihat wajah Farah
yang terbungkus resah.
Roda berputar membelah
jalanan. Aku membuang pandangan ke luar, tak mempedulikan Papa yang terus saja
meluapkan amarahnya. Nada suaranya yang tinggi sudah membuat telingaku cukup
kebas. Bahkan jaripun tak akan mampu berapa kali dia marah dalam seminggu.
Disela kalimatnya, nama Satria disebutkan bahwa sekarang dia akan diberhentikan
sekolah oleh Papa dan segera dimasukkan ke panti rehabilitasi. Napasku
tercekat, mataku panas. Itu berarti Satria telah lama memakan barang jahannam
itu. Langit seakan-akan runtuh menghujam tepat di atas kepalaku. Adikku
sendiri, pemakai akut. Sudahlah, aku terlalu lelah menghadapi urusan dunia yang
pelik ini. Adakah tempat dimana aku bisa lepas dari masalah dan bebas merajut
waktu tanpa beban? Sekali saja…
*****
Setahun berlalu
semenjak kejadian itu…
Masa putih abu-abu itu
sudah kutinggalkan jauh dibelakang. Walaupun perceraian kedua orang tuaku
membuatku sedikit terguncang. Bahkan hampir saja menghancurkan daya
konsentrasiku selama menjalani persiapan ujian nasional. Satria masih dalam
pantauanku. Sejauh ini dia mengalami perkembangan yang baik. Satu hal kabar
gembira buatku, dia sudah semakin rajin mengerjakan shalat lima waktu. Tak ada
lagi aura sendu yang menggelayuti wajahnya. Tampak semangat hidup membakar
dirinya untuk bangkit.
Kisah lampau itu
setidaknya mampu menjadi pelajaran buatku, tanpa harus mengulang sejarah kedua
orang tuaku. Karena sejatinya, karakter serta sikap seorang anak akan terbentuk
sesuai ajaran dan pemahaman-pemahaman yang baik, yang diberikan oleh orang tua
di rumah. Jika saja aku enggan mencari pemahaman yang benar di atas
permasalahanku, mungkin aku akan bernasib sama seperti Satria. Lalu jadilah
kami berdua orang yang benar-benar tak ada gunanya. Kehadiran Farah yang
mengajarkanku akan arti dari kekuatan sabar dan semua yang bersumber dari
Allah, menjadi sebuah kesyukuran yang luar biasa. Bukan berarti aku menafikan
jasa ataupun belai kasih yang pernah Papa-Mama berikan, hanya saja ada
kebahagiaaan tersendiri ketika kekuatan itu datang dari Sang Kuasa melalui
Farah.
Jilbabku melambai
ditiup angin pantai. Selama masa-masa sulit yang kuhadapi, Farah selalu berada
di sampingku, menguatkan, meyakinkan, menghibur. Ah, aku merindukan gadis itu.
Rindu yang menembus cakrawala senja. Kini, kami tak lagi bersama. Jalur
prestasi yang dia ikuti membuatnya lulus pada pilihan pertama, Teknik Elektro
Institut Teknologi Bandung. Dan aku mahasiswi Psikologi Universitas Andalas.
Diambang batas perpisahan, dia membisikkan kalimat penguatan, sehingga aku
semakin mantap untuk terus berdiri di atas jalan kebenaran. Jalan yang sudah
tertulis di lembaran cinta dari Illahi, berisi kunci keselamatan. Tak pernah
aku merasakan sebelumnya rasa tenang bagai bayu yang menari mengisi relung
kalbu. Aku percaya, tak ada yang perlu disesali pada keputusan yang telah
diambil. Walau dulu kelabu menyemai hati, namun tekadku seperti mentari. Yang
tak akan pernah berhenti menebar pendar indah. Jilbabku, kini menjadi
identitasku sebagai muslimah. Hasbunallahu
wani’malwakiil…
Bagikan
Mentari Tak Pernah Sendu
4/
5
Oleh
Unknown
1 komentar:
Tulis komentarwo,,kenapa harus mahasiswa psikologi unand pie??
Reply